A. Pengertian Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah segala
usaha dan ikhtiya yang dilakukan oleh anggota bada atau pikiran untuk
mendapatkan imbalan yang pantas.
Tenaga kerja sebagai factor
produksi menmpunyai arti yang besar, karena semua kekayaan alam tidak berguna
bila tidak diekploitasi oleh manusia dan diolah oleh buruh. Alam telah
menberikan kekayaan yang tak terhitung, tetapi tampa usaha manusia semua akan
tersimpan. Banyak Negara di Asia Timur, Timur Tengah, Afrika dan Amerika
Selatan yang kaya akan sumber alam tapi merika belum mampu menggalinya maka
mereka tetap miskin dan terbealakang, oleh karena itu disamping adanya sumber
daya alam juga ada rakyat yang berekrja sungguh-sungguh, tekun dan bijaksana
agar mampu mengembaikan sumber alam untuk kepentingannya.
Al-Qur’an telah member
penekanan yang lebih terhadap tenaga manusia, ini dapat dilihat dari petikan
surat An-Najm: 39. Artinya “Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya”. (an-Najm:
39).
Semakin bersungguh-sungguh dia
bekerja semakin banyak harta yang diperolehnya. “ untuk lelaki ada bagian dari usaha yang dikerjakannya dan untuk
wanita ada bagian pula dari usaha yang dikerjakannya (an-Nisa’:32). Siapa
yang bekerja keras akan mendaptkan ganjarannya masing-masing yang sewajarnya
prinsip trrsebut berlaku bagi individual dan juga Negara, al-Qur’an menunjukan
prinsip asas tersebut dalam surat al-Anfaal: “ Demikian itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan terhadap suatu kaum hingga kaum
itu merubah apa yang ada pada mereka sendiri dan sessungguhnya Allah maha
mendenga lagi maha mengetahui” (Al-Anfaal: 53).
B. Konsep Islam dalam Menbentuk Tenaga Kerja
Berkualitas
Menurut Tholhah Hasan dalam
bukunya Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia menyatakan bahwa, menurut islam, setiap
upanya mengembangkan kualitas manusia memerlukan intervensi nilai, disamping
nilai-nilai terutama dilakukan dengan pendidikan, yang mencakup fisik, akal,
maupun kalbu. Ada beberapa demensi kualitas manusia yang ditunjuk oleh islam
sebagai sasaran atau target
pengembangan (Hasan,2003):
1.
Dimensi keilmuan dan ketakwaan (Q.S
al-Hujarat(49):13).
2.
Dimensi kepribadian yang mencakup pandangan dan
sikap hidup (Q.S. al-Furqaan 9250: 63-75).
3. Dimensi
kreativitas dan produktivitas (Q.S. an-Nahl (16): 97; Q.S. an-Ashr (103): 1-3)
dan banyak hadist-hadist yang mengajak hidup produktif dan kreatif.
4.
Dimensi kesadaran sosial (antara lain dalam Q.S
al-Maa’uun (107):1-3. Q.S. adh-Dhuhaa(93: 9-11). Dalam hadist menyatakan : “Sebaik-baiknya orang adalah yang paling
banyak memberi mamfaat kepada sesama manusia.”.
Jika keempat ini dikembangkan
secara dini, maka akan terwujud tenaga kerja yang berkualitas, sehingga akan
menambah aset yang berharga bagi masyarakat. Lembaga keluarga sebagai
organisasi pertama yang memproduksi sumber daya manusia berperan sangat domenan
dalam membentuk kepribadian yang bijak dan kreatif yang akan meningkat kualitas
tenaga kerja dipasar tenaga kerja.[2]
Pasilitas pendidikan dan
pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan bakat individual akan
menumbuhkan kreativitas bagi bagi individu. Kreatif adalah cikal-bakal invensi
yang dengan bantuan modal menjadi inovasi yang akhirnya akan menciptakan
penguasaha teknologi. Dalam era globalisasi pengosaha teknologi berarti pula
daya saing yang tinggi. Pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk mengasuh dan
menggali kreatifitas menjadikan para filosof muslim menempatkan akal pada
kedudukan penting, pentingnya akal diakui secara umum dan empiris dengan adanya
tes-tes IQ (Intellegence quotienant) dalam penerimaan karyawan, pintar saja
tidak cukup, daya tahan emosi pun penting, berkembanglah EQ (Emotional
guotient). Baru pada beberapa tahun terakhir ini SQ (Spirit guotient) disadari
berperan penting dalam memberdayakan manusia sehingga ia akan berkembang
menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil, the whole-man cansept).
Banyak sekali insentif yang
disediakan manusia untuk bekerja, ahmad mengelompokan nya kedalam tiga kata
gori:
1. Janji
pahala. Al-Qur’an mendesak kerja keras dan menjanjikan pertolongan Allah dan
petunjuk-Nya bagi mereka yang berjuang dan berlaku baik. Dalan banyak ayatnya,
Al-Qur’an ,menjanjikan pahala yang berlimpah bagi seseorang yang bekerja dengan
memberikan mereka tuntutan insentif untuk mrningkatkan kualitas dan kuantitas
kerjanya.
2. Anjuran
untuk terampir dan mengoasai teknologi. Al-Qur’an menganjurkan pada manusia
untuk memiliki keterampilan dan menguasai teknologi dengan menyebutnya sebagai
fadhl (keutamaan, kaarunia) Allah. Al-Qur’an juga mendesak mereka untuk
mempergunakan besi dengan sebaik-baiknya, yang dalam pandangan al-Qur’an
memiliki sebuah sumber kekuatan yang signifikan dan memiliki banyak mamfaat
bagi manusia (Q.S. al-Hadiid (57): 25).
3. Respek
terhadap kerja dan pekerja.
Menurut
Qordhawi dalam bukunya Daurul Qiyam Wal
Akhlaq fil Iqtishadil Islami yang diterjemahkan dengan judul Norma dan Etika Ekonomi Islam
menyatakan: “tidak kita temukan dalam ajaran agama namapun, sanjungan terhadap
pekerjaan yang lebih tinggi daripada agama kita”(Qardhawi,2001:112). Demikian
kerasny dorongam islam terhadap kerja, belajar dan inovasi, sehingga seharusnya
dalam komonitas seperti ini tidak akan ditemukan pengannguran. [3]
C. Etos Kerja
Etos
kerja didefinisikan menurut Mochtar Buchari adalah sikap dan pandangan terhadap
kerja, kebiasaan kerja yang dimiliki seseorang atau kelompok manusia atau suatu
bangsa.[4]
Etos kerja adalah sifat, watak, kualitas kehidupan bathin manusia, moral dan
gaya estetik serta suasana batin mereka.
Dalam
kehidupan sehari-hari, banyak orang beraktivitas dalam melakukan sebuah kegiatan,
tapi tidak semuanya aktivitas manusia dikatagorikan bentuk pekerjaan, karena didalam aspek
pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhi secara nalar.
1. Aktivitasnya
dilakukan karena ada dorongan yang untuk mewujudkan suasana sehingga tumbuh
rasa bertanggung jawab untuk menghsilkan karya yang berkualitas, bekerja bukan
sekedar mencari uang, namun salah satu ibadah karena ada panggilan untuk
memperoleh ridho Allah SWT.
2. Apa
yang dilakukan tersebut karena kesengajaan, direncanakan, karenanhya terkandung
didalamnya gaerah, semangat, untuk menggerahkan seluruh potensi yang
dimilikinya, sehingga apa yang dikerjakan memiliki kepuasan dan mamfaat.[5]
D. Kontrak (Akad) Kerja
Ketentuan yang sesungguhnya
antara kaum majikan dan kaum buruh mengenai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan
syarat-syarat, diselesaikan dengan persetujaun dua belah pihak dan kerelaan
mereka. Namun demikian pemerintah wajib menetapkan dasar-dasar keadilan dan
saling pengertian dalam hal ini, seperti tingkat minimal dari upah dan gaji
yang didapatkan oleh seorang buruh, batas maksimal jam kerja jaminan social
lainnya (al-Maududi, 1980). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
kontrak kerja:
1. Pengukuan
akad, artinya kontrak ini harus syah apakah itu dengan adanya sanksi atau
dengan menterai atau dengan notoris.
2. Penjelasan
secara terperinci dan jelas tentang pekerjaan, jadi semacam job des-cription
yang cukup lengkap.
3. Cara
pembayaran, apakah setiap minggu, setiap bulan, tunai atau transfer bank, atau
setiap jasa pekerja tadi digunakan dan bermacan variasi lainnya[6].
E. Pengertian Upah
Upah menurut pengertian Barat
terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh
lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja
bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut
pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh
karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga
dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada Jenis
karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau
tidak). Meskipun titik berat antara upah dan gaji terletak pada
jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
Upah atau Gaji biasa, pokok
atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak
langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada
pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian
Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi
kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan
dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi
kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja
Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan
konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak
hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas
kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat
tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam
adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip
kelayakan (kecukupan).
Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam
No
|
Aspek
|
Barat
|
Islam
|
1
|
Keterkaitan yang erat antara
UPAH dengan MORAL
|
Tidak
|
Ya
|
2
|
Upah memiliki dua dimensi :
Dunia dan akherat
|
Tidak
|
Ya
|
3
|
Upah diberikan berdasarkan
Prinsip Keadilan (justice)
|
Ya
|
Ya
|
4
|
Upah diberikan berdasarkan
prinsip Kelayakan
|
Ya
|
Ya
|
ü ADIL
Organisasi
yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang
dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini merupakan ciri-ciri
organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :
“Berbuat adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan
TRANSPARAN
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bemua’malah
tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS.
Al-Baqarah : 282)
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS. Al-Maidah : 1).
ü ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan
bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan
agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang
mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19).
“Dan
kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. Yaasin : 54).
ü LAYAK
Jika Adil berbicara
tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat
pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran
yang diterima
ü LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika
ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah
s.a.w bersabda :
“Mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw.
bersabda:
“Aku
mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak
memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia
tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.
Abu Bakar mengatakan:
Diberitakan
kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil sikap selain
itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).
F.
Perselisian dalam Tingkat Upah
Masalah yang
sering terjadi dala, ketenagakerjaan adalah perselisian dalam tingkat upah yang
memiliki konsekuensi yang luar jika tidak ditandatangangi dengan efektif.
Kebiasaanyan dalam bidang SDM yang berasal dari barat pada umumnya memilki
peraturan yang disepakati oleh pemebri kerja dan perwakilan buruh untuk
bernegoisasi jiak ada masalah dan konflik diantara meneka, bentuk ini dikenal
dengan collective bargaining. Jika bernigoisasi tidak menghasilkan kesepakatan
maka kedua belah pihak akan mengambil pihak ketiga.
Dalam
ekonomi islam, rute yang sulit dapat dihindarkan , karena pekerja dan pemberi
kerja sepakat tentang upah sebelum disimpulkan dalam kontrak kerja. Nabi
menjelaskan, sia
[2] Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam. (Yogyakarta Kreas Wacana. 2005), Hlm:
177-178
[3] Ibid:181-182
[4] Mochtar, Bukhory, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
IKIP Muhammadiyah,2002)6
[5] Djakfar Muhammad, Etika bisnis perpektif islam.
(Malang, pres,2007)hlm.65
[6] Ibid: 193-195