1.Iqradh artinya mengutangkan sesuatu
dengan syarat si penerima diharapkan mengembalikannya dengan barang yang serupa. Hukumnya sunnat, sebab perbuatan ini
mengandung makna membantu untuk menghilangkan kesulitan. Memberi utang atau iqradh termasuk perbuatan yang sangat
dianjurkan dan dalil-dalil sunnahnya sudah cukup terkenal.
2.Antaralain seperti hadist imam
muskah imam yang mengatakan,”Barang siapa menolong saudaranya dari kesulitan di
dunia, niscaya Alloh akan menolongnya dari suatu kesulitan di hari kiamat.
Alloh selalu membantu hamba-Nya selagi hamba yang bersangkutan selalu menolong
saudaranya.”
3.Dalam sebuah hadist saheh lain
disebutkan bahwa barang siapa memberi pinjaman karena Alloh sebanyak dua kali,
maka dia memperoleh pahala semisal dengan jumlah salah satunya seandainya dia
menyedekahkannya.
Memberi
sedekah lebih baik dari pada memberi hutang
4.Memberi
sedekah lebih afda dari pada memberi hutang.
Lain halnya menurut ulama’ Yang
berpendapat berbeda (yakni lebih mengafdalkan memberi hutang dari pada memberi
sedekah, sebab orang yang mengajukan hutang jelas memerlukan. Lain halnya
dengan penerima sedekah, adakalanya dia tidak memerlukanya, pent).
5.hukum
sunnat memberi hutang itu jika orang yang mengajukan tidak dalam keada’an terpaksa.
Jika dia dalam keada’an terpaksa, maka hukum memberi hutang bukan sunnat lagi,
melainkan wajib.
Haram
mengajukan hutang bila tidak karena terpaksa
6.Haram
mengajukan hutang bagi orang yang tidak dalam keada’an terpaksa, sedangkan
keada’an lahiriahnya menunjukkan tidak ada harapan untuk dapat segera
mengembalikan hutangnya secara kontan disa’at masa pelunasannya tiba, bagi
hutan yang berjangka waktu.
7.Demikian
pula halnya disa’at orng yang mengutangkan mengetahui atau menduga bahwa orang
yang berutang kepadanya akan membelanjakan hasil hutangnya itu untuk tujuan
maksiat, (maka hyaram memberinya hutang, sama halnya dengan masalah diatas
tadi).
8.Qiradh
dinyatakan sah dengan ijab, seperti kata-kata,” aku mengiutangkan ini kpd mu,”
atau “ aku berikan ini kpdmu dengan sarat kamu mengembalikannya nanti dengan
yang serupa,” atau” Ambillah ini dan kembalikanlah nanti gantinya,” atau”
gunakanlah ini untuk keperluanmu dan kembalikanlah nanti gantinya.”
9.Apabila
dia tidak mengucapkan kata-kata, ” kembalikanlah ga ntinya,” maka artinya
kinayah. Sedangkan kalau hanya kata-kata, “ ambillah!”, maka dianggap bukan
memberikan hutang. Kecuali jika didahului oleh perminta’an, “ Berilah aku
hutang barang ini, “ maka dinamakan hutang. Jika didahului dengan kata-kata, “
berilah aku,” maka jadinya hibah.
Seandainya
dia hanya mengatakan, “ aku milikkan ini kepadamu,” sedangkan dia tidak berniat
meminta gantinya, maka dinamakan hibah.
Jika dia berniat meminta gantinya, maka dinamakan hutang kinayah /(sendirian).
10.Seandainya
keduah belah pihak berselisih mengenai niat penagihan, maka yang dibenarkan
ialah pihak yang diberikan hutang, sebab dia lebih mengetahui niat dirinya.
Atau keduanya berselisih pendapat mengenai penyebutan tagihannya, karena hal
inilah yang asal, dan pernyata’an yang dikemukakan jelas memperkuat dakwaannya.
11.Seandainya
seseorang mengatakan kepada orang yang terpaksa,”Aku memberimu makan dengan
pembayaran (tidak geratis),” lalu siterpaksa mengingkarinya, maka yang
dibenarkan adalah pihak pemberi makan, karena memacu orang-orang agar
melekuakan perbuatan yang terhormat ini.
12.Seandainya
seseorang mengatakan,” Aku hibahkan kepadamu dengan pembayaran,” sedangkan si
penerima mengatakan, “Bahkan gratis,” maka yang dibenarkan ialah sipembeli
hibah
13.Seandainya
seseorang mengatakan,”Belikanlah dengan uang dirhammu sepotong roti buatku,”
lalu seseorang disuruh membelikanmu roti tersebut untuknya, maka uang dirham
yang yang dipakainya merupakan hutang (yang dibebankan kepada pihak penyuruh),
bukan hibah, menurut pendapat yang dapat dipegang.
Iqradh
dinyatakan sah dengan adanya kabul
14.
Iqradh atau memberi hutang dinyatakan
sah dengan adanya kabul yang berhubungan langsung dengan ijab, seperti ucapan, “Aku beri dia hutang,” lalu dijawab langsung,
“Aku terima hutangnya.”
Qiradh
secara hukmi tidak memerlukan ijab dan kabul
15.Dibenarkan
qiradh secara hukmi tidak memerlukan adanya ijab dan kabul seperti ketentuan di
atas, misalnya memberi nafkah kepada anak yang ditemukan dalam keada’an
memerlukan bantuan, memberi makan orang yang kelaparan, dan memberi pakaian
orang yang tidak berpakaian (telanjang).
16.Termasuk
ke dalam pengertian qiradh hukmi yaitu memerintahkan org lain agar
memberikan sesuatu untuk tujuan si penyuruh sendiri (menalangi), misalnya
memberi penyair, orang zalim, makan oran miskin, atau menebus tahanan, dan juga
kata-kata, “Renovasilah rumahku.”
17.Sgolongan
ulama mengatakan, dalam qiradh tidak
disyaratkan adanya ijabdan kabul. Pendapat ini dipilih oleh
Al-Adzru’i. Dia mengatakan bahwa qais boleh melakukan jual beli secara mu’athah (swaling memberi tanpa ijab dan
kabul), dalam masalah jual beli diperbolehkan pula melakukan mu’athah dalam masalah qiradh.
Orang
yang boleh memberi qiradh
18.Sesungguhnya
orang yang boleh memberikan qirqdh
itu hanyalah orang yang secara sukarela
berhak mengelolah apa yg dipesankan kapadanya, baik berupa ternak atau lainnya
sekalipun barang bpesanan tersebut berupa uang yaqng tidak bresmi (yakni mas
dan perak) yang bukan mata uang resmi.
19.Boleh mengutangkan
roti dan adonannya serta peragi asamnya, tetapi tidak boleh mengutangkan ragi
yang telah diproses menjadi yoghurt, menurut
pendapat yang kuat alasannya. Yang dimaksud ialah ragi yang dicampur dengan
susu agar susu menjadfi yoghurt.
Dikatakan demiian karena kadar asamnya berbeda-beda (hingga sulit
pengambilannya dengan barang yang sama).