Sabtu, 21 April 2012

KETENAGAKERJAAN DAN PENENTUAN UPAH

Ketenagakerjaan Dan Penentuan Upah



A.  Pengertian Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah segala usaha dan ikhtiya yang dilakukan oleh anggota bada atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas.
Tenaga kerja sebagai factor produksi menmpunyai arti yang besar, karena semua kekayaan alam tidak berguna bila tidak diekploitasi oleh manusia dan diolah oleh buruh. Alam telah menberikan kekayaan yang tak terhitung, tetapi tampa usaha manusia semua akan tersimpan. Banyak Negara di Asia Timur, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Selatan yang kaya akan sumber alam tapi merika belum mampu menggalinya maka mereka tetap miskin dan terbealakang, oleh karena itu disamping adanya sumber daya alam juga ada rakyat yang berekrja sungguh-sungguh, tekun dan bijaksana agar mampu mengembaikan sumber alam untuk kepentingannya.
Al-Qur’an telah member penekanan yang lebih terhadap tenaga manusia, ini dapat dilihat dari petikan surat An-Najm: 39. Artinya “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya”. (an-Najm: 39).
Semakin bersungguh-sungguh dia bekerja semakin banyak harta yang diperolehnya. “ untuk lelaki ada bagian dari usaha yang dikerjakannya dan untuk wanita ada bagian pula dari usaha yang dikerjakannya (an-Nisa’:32). Siapa yang bekerja keras akan mendaptkan ganjarannya masing-masing yang sewajarnya prinsip trrsebut berlaku bagi individual dan juga Negara, al-Qur’an menunjukan prinsip asas tersebut dalam surat al-Anfaal: “ Demikian itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan terhadap suatu kaum hingga kaum itu merubah apa yang ada pada mereka sendiri dan sessungguhnya Allah maha mendenga lagi maha mengetahui” (Al-Anfaal: 53).
B.  Konsep Islam dalam Menbentuk Tenaga Kerja Berkualitas
Menurut Tholhah Hasan dalam bukunya Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia menyatakan bahwa, menurut islam, setiap upanya mengembangkan kualitas manusia memerlukan intervensi nilai, disamping nilai-nilai terutama dilakukan dengan pendidikan, yang mencakup fisik, akal, maupun kalbu. Ada beberapa demensi kualitas manusia yang ditunjuk oleh islam sebagai sasaran   atau target pengembangan (Hasan,2003):
1.      Dimensi keilmuan dan ketakwaan (Q.S al-Hujarat(49):13).
2.      Dimensi kepribadian yang mencakup pandangan dan sikap hidup (Q.S. al-Furqaan 9250: 63-75).
3.      Dimensi kreativitas dan produktivitas (Q.S. an-Nahl (16): 97; Q.S. an-Ashr (103): 1-3) dan banyak hadist-hadist yang mengajak hidup produktif dan kreatif.
4.      Dimensi kesadaran sosial (antara lain dalam Q.S al-Maa’uun (107):1-3. Q.S. adh-Dhuhaa(93: 9-11). Dalam hadist menyatakan : “Sebaik-baiknya orang adalah yang paling banyak memberi mamfaat kepada sesama manusia.”.
Jika keempat ini dikembangkan secara dini, maka akan terwujud tenaga kerja yang berkualitas, sehingga akan menambah aset yang berharga bagi masyarakat. Lembaga keluarga sebagai organisasi pertama yang memproduksi sumber daya manusia berperan sangat domenan dalam membentuk kepribadian yang bijak dan kreatif yang akan meningkat kualitas tenaga kerja dipasar tenaga kerja.[2]
Pasilitas pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan bakat individual akan menumbuhkan kreativitas bagi bagi individu. Kreatif adalah cikal-bakal invensi yang dengan bantuan modal menjadi inovasi yang akhirnya akan menciptakan penguasaha teknologi. Dalam era globalisasi pengosaha teknologi berarti pula daya saing yang tinggi. Pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk mengasuh dan menggali kreatifitas menjadikan para filosof muslim menempatkan akal pada kedudukan penting, pentingnya akal diakui secara umum dan empiris dengan adanya tes-tes IQ (Intellegence quotienant) dalam penerimaan karyawan, pintar saja tidak cukup, daya tahan emosi pun penting, berkembanglah EQ (Emotional guotient). Baru pada beberapa tahun terakhir ini SQ (Spirit guotient) disadari berperan penting dalam memberdayakan manusia sehingga ia akan berkembang menjadi manusia seutuhnya (Insan Kamil, the whole-man cansept).
Banyak sekali insentif yang disediakan manusia untuk bekerja, ahmad mengelompokan nya kedalam tiga kata gori:
1.      Janji pahala. Al-Qur’an mendesak kerja keras dan menjanjikan pertolongan Allah dan petunjuk-Nya bagi mereka yang berjuang dan berlaku baik. Dalan banyak ayatnya, Al-Qur’an ,menjanjikan pahala yang berlimpah bagi seseorang yang bekerja dengan memberikan mereka tuntutan insentif untuk mrningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya.
2.      Anjuran untuk terampir dan mengoasai teknologi. Al-Qur’an menganjurkan pada manusia untuk memiliki keterampilan dan menguasai teknologi dengan menyebutnya sebagai fadhl (keutamaan, kaarunia) Allah. Al-Qur’an juga mendesak mereka untuk mempergunakan besi dengan sebaik-baiknya, yang dalam pandangan al-Qur’an memiliki sebuah sumber kekuatan yang signifikan dan memiliki banyak mamfaat bagi manusia (Q.S. al-Hadiid (57): 25).
3.      Respek terhadap kerja dan pekerja.
Menurut Qordhawi dalam bukunya Daurul Qiyam Wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami yang diterjemahkan dengan judul Norma dan Etika Ekonomi Islam menyatakan: “tidak kita temukan dalam ajaran agama namapun, sanjungan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi daripada agama kita”(Qardhawi,2001:112). Demikian kerasny dorongam islam terhadap kerja, belajar dan inovasi, sehingga seharusnya dalam komonitas seperti ini tidak akan ditemukan pengannguran. [3]
C.  Etos Kerja
Etos kerja didefinisikan menurut Mochtar Buchari adalah sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja yang dimiliki seseorang atau kelompok manusia atau suatu bangsa.[4] Etos kerja adalah sifat, watak, kualitas kehidupan bathin manusia, moral dan gaya estetik serta suasana batin mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang beraktivitas dalam melakukan sebuah kegiatan, tapi tidak semuanya aktivitas manusia dikatagorikan  bentuk pekerjaan, karena didalam aspek pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhi secara nalar.
1.      Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan yang untuk mewujudkan suasana sehingga tumbuh rasa bertanggung jawab untuk menghsilkan karya yang berkualitas, bekerja bukan sekedar mencari uang, namun salah satu ibadah karena ada panggilan untuk memperoleh ridho Allah SWT.
2.      Apa yang dilakukan tersebut karena kesengajaan, direncanakan, karenanhya terkandung didalamnya gaerah, semangat, untuk menggerahkan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga apa yang dikerjakan memiliki kepuasan dan mamfaat.[5]
D. Kontrak (Akad) Kerja
Ketentuan yang sesungguhnya antara kaum majikan dan kaum buruh mengenai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan syarat-syarat, diselesaikan dengan persetujaun dua belah pihak dan kerelaan mereka. Namun demikian pemerintah wajib menetapkan dasar-dasar keadilan dan saling pengertian dalam hal ini, seperti tingkat minimal dari upah dan gaji yang didapatkan oleh seorang buruh, batas maksimal jam kerja jaminan social lainnya (al-Maududi, 1980). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kontrak kerja:
1.      Pengukuan akad, artinya kontrak ini harus syah apakah itu dengan adanya sanksi atau dengan menterai atau dengan notoris.
2.      Penjelasan secara terperinci dan jelas tentang pekerjaan, jadi semacam job des-cription yang cukup lengkap.
3.      Cara pembayaran, apakah setiap minggu, setiap bulan, tunai atau transfer bank, atau setiap jasa pekerja tadi digunakan dan bermacan variasi lainnya[6].

E.  Pengertian Upah
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat, Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).  Meskipun titik berat antara upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja”  (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja
Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).
Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam
No
Aspek
Barat
Islam
1
Keterkaitan yang erat antara UPAH dengan MORAL
Tidak
Ya
2
Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan akherat
Tidak
Ya
3
Upah diberikan berdasarkan Prinsip Keadilan  (justice)
Ya
Ya
4
Upah diberikan berdasarkan prinsip Kelayakan
Ya
Ya

ü      ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa.  Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa.  Al-Qur’an menegaskan :
Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila   kamu   bemua’malah   tidak     secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.  Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.  Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu.  Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang  perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.  Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.  Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS. Al-Maidah : 1).

ü      ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf  :  19).
“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. Yaasin : 54).
ü      LAYAK
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya,   maka  Layak  berhubungan dengan besaran yang diterima
ü      LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :  „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. .  Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu   Bakar   mengatakan:
Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda  : Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu  Daud).
F.   Perselisian dalam Tingkat Upah
Masalah yang sering terjadi dala, ketenagakerjaan adalah perselisian dalam tingkat upah yang memiliki konsekuensi yang luar jika tidak ditandatangangi dengan efektif. Kebiasaanyan dalam bidang SDM yang berasal dari barat pada umumnya memilki peraturan yang disepakati oleh pemebri kerja dan perwakilan buruh untuk bernegoisasi jiak ada masalah dan konflik diantara meneka, bentuk ini dikenal dengan collective bargaining. Jika bernigoisasi tidak menghasilkan kesepakatan maka kedua belah pihak akan mengambil pihak ketiga.
Dalam ekonomi islam, rute yang sulit dapat dihindarkan , karena pekerja dan pemberi kerja sepakat tentang upah sebelum disimpulkan dalam kontrak kerja. Nabi menjelaskan, sia



[2] Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam. (Yogyakarta Kreas Wacana. 2005), Hlm: 177-178
[3] Ibid:181-182
[4] Mochtar, Bukhory, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: IKIP Muhammadiyah,2002)6
[5] Djakfar Muhammad, Etika bisnis  perpektif islam. (Malang, pres,2007)hlm.65
[6] Ibid: 193-195                        


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar