Selasa, 27 Maret 2012

Hukum 'Iddah

By: Husna alfiani, Mahasiswi STAIN Pamekasan Madura, Prody Perbankan Syari'ah, Sekarang Masih Semester 6.
Pembahasan
A.Pengertian ‘iddah.
‘Iddah berasal dari kata al’adad yang artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi  seorang perempuan selama ia suci dari haid. Dalam syara’ iddah artinya menunggu dan dilarang kawin, setelah seseorang ditinggal mati atau diceraikan suaminya (thalaq).
Bilangan iddah dimulai sejak adanya penyebab ‘iddah yaitu meninggal suaminya atau dicerai suaminya (thalaq). Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyah, kemudian setelah islam datang, ‘iddah ini dilanjutkan karena bermamfaat. Ulama’ sepakat bahwa ‘iddah itu wajib.[1]
Menurut KHI pasal 117, Thalaq adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab nya putusnya perkawinan dengan cara sebagai mana yang dimaksud  dalam pasal 129, 130 dan 131.
B. Macam-Macam ‘iddah.

1.    Iddah Perempuan Yang Masih Berdarah Haid Yaitu Tiga Kali Haid.

Apabila seorang perempuan masih berdarah/keadaan haid di ceraikan oleh suaminya , maka ia ber  iddah tiga kali haid.
 Menurut firman Alloh SWT:


Artinya : “perempuan-perempuan yang ditalaq hendaknya menahan diri  (ber’iddah ) dengan tiga kali quru ’’.(Q.S 2 Al-Baqoroh: 228)
Menurut pendapat yang lebih kuat, quru’ artinya heid, meskipun quru’ juga berarti suci, yaitu masa suci diantara dua kali haid. Pendapat ini telah di tarjihkan oleh Allamah ibnul Qayyum, ia berkata : lafal quru’ tidak dipergunakan dalam firman alloh selain untuk arti haid, dan tidak ada satupun penggunaan kata quru’ untuk arti suci, makna yang terkandung dalam ayat diatas lebh tepat, bahkan nabi SAW pernah bersabdah, menjelaskan makna quru’ kepada perempuan yang kena istihadhah :


tinggalkanlah salat pada hari-hari kamu mengeluarkan darah”.
Demikianlah , Rosulullah SAW, menyampaikan pelajaran dari ALLah SWT, dengan bahasa kaumnya, yaitu bahasa arab (Bahasa Al-Quran).[2]

2.    Iddah perempuan yang telah berhenti (putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena masih kanak-kana, yaitu tiga bulan.
Perempuan yang tidak haid lagi, demikian puala perempuan yang masih kanak-kanak belum baligh atau perempuan yang tidak haid, baik yang tidak pernah haid maupun yang sudah putus haid maka masa iddah nya tiga bulan.
Sebagaimana  Firman Alloh :


Artinya : ‘’perempuan-perempuan yang sudah tidak haid lagi dari istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (mengenal masa iddahnya ), maka iddah mereka adalah tiga bulan, begitu pula perempuan-perempuan yang tidak bias haid (Q.S Ath-thalaq:4).
Ada perbedaan mengenai usia perempuan yang sudah tidak bisa haid lagi :
1. yang paling mashur adalah 62 tahun.
2. Ada yang mengatakan 50 tahun.
3. Ada yang mengatakan 90 tahun.
4. Al-Sarkhasi mengatakan : ‘’kami pernah melihat perempuan yang masih haid pada usia 90 tahun”.[3]                                                                                                                     
3.  ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya, lamanya empat bulan sepuluh hari apabila ia tidak hamil.
     Perempuan yang ditinggal mati suaminya, apabila ia tidak hamil masa iddah nya ialah empat bulan sepuluh hari, baik ia masih berdarah haid ataupun sudah putus haid.
Berdasarkan firman Allah SWT :


Artinya : “orang- orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri-istri itu ) ber’iddah empat bulan sepuluh hari”.(Q.S 2. Al-Baqoroh:234).
     Perlu diketahui, ‘iddah wafat ( ditinggal mati oleh suaminya ) adalah khusus untuk nikah sah, seandainya perempuan menikah  dengan nikah yang rusak/tidak sah, lalu suaminya meninggal dunia sebelum  bersetubuh, maka tidak ada iddah. Kalau sesudah persetubuhan, lalu suaminya meninggal  dunia atau keduanya bercerai, maka si istri wajib menjalani iddah seperti ‘iddahnya perempuan yang disetubuhi secara subhat.[4]
4.    ‘iddah nya perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai perempuan itu melahirkan anaknya.
Firman Allah SWT :

Artinya : “perempuan yang sedang hamil iddah nya ialah sampai ia melahirkan kandungan nya,” (Q.S 65. Ath-thalaq)
Firman Allah diatas menunjukan, bahwa apabila seorang perempuan mengandung bayi lebih dari satu , maka iddahnya belum habis sebelum ia melahirkan bayi yang terakhir, begitu juga dengan permpuan yang beristibra’ (membersihkan kandunganbagi budak perempuan setelah dicampuri oleh tuannya ), iddahnya juga sampai melahirkan kandungannya. Ayat di atas juga menunjukkan bahwa  ‘iddah itu berakhir dengan lahirnya kandungannya dengan jalan apa saja, baik bayi itu hidup atau mati, sempurna bentuk nya atau tidak, sudah bernyawa  ataupun  belum bernyawa.
Para ulama’ berpendapat  bahwa tidak salah apabila seorang perempuan menikah setelah selesai melahirkan meskipun ia masih mengeluarkan darah asalkan ia tidak dicampuri terlebih dahulu, sampai ia suci. Tetapi pendapat ini sangat berlebih-lebihan.
Perlu diketahui, bahwasanya perempuan yang bersuami ada yang sudah dicampuri oleh suaminya ada juga yang belum dicampuri oleh suaminya. Perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya tidak perlu ber’iddah ( bagi perempuan yang diceraikan ).
berdasarkan firman Allah :



Artinya: “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu  mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakan (Q.S, 33,Al-Ahzab; 49).
Sedangkan apabila perempuan itu ditinggal mati oleh suaminya, sebelum kedua suaminya sempat berhubungan kelamin, maka istri wajib ber’iddah seperti perempuan yang sudah pernah bercampur.[5]
C. Hak perempuan dalam ‘iddah.
1. perempuan yang taat dalam raj’iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian dan segala keperluan hidupnya, dari yang menelaqnya (bekas suaminya), kecuali yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa.
Sabda rosulullah saw :


Artinya : Dari Fatimah binti Qois “Rosulullah SAW. telah bersabda, kepadanya,”perempuan yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suami nya yaitu apabila bekas suaminya berhak rujuk kepadanya .” (Riwayat Ahmad dan Nasai).
2.Perempuan yang dalam ‘iddah bain, kalau ia mengandung, ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan pakaian.
          Firman Allah SWT,:

Artinya : “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sudah hamil, maka berikannlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”(At-Talaq :6).
3.perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talaq tabus atau talaq tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak yang lainnya.
Firman Alloh SWT :
Artinya :”tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuannya.” (At-Talaq :6).
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa bain yang tidak hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Sabda Rosulullah SAW :    


Artinya :”fatimah binti qais, dari nabi SAW, mengenai perempuan yang ditalaq tiga, rosulullah saw bersabda “ia tidak berhak atas tempat tinggal dan tidak pula atas nafkah.” (Riwayat Ahmad Muslim).
Adapun firman alloh dalam surat at-talaq ayat 6 tersebut diatas , menurut mereka hanya berlaku untuk perempuan yang dalam ‘iddah ra’iyah.
4.perempuan yang  dalam ‘iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak yang sama sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka suaminya yang meninggal dunia.
Sabda Rosulullah SAW :
         
Artinya : “janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah,” (Riwayat Daruqutni).[6]
D. Undang –Undang ‘Iddah Menurut KHI di Indonesia.
PASAL 153
1.bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla  al-dhuqul dan perkawinannya bukan karena kematian suami.
2.waktu tunggu bagi seorang  jaanda adalah ditentukan sebagai berikut:
a. apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh hari).
b.apabila perkawinan putus karena perceraian , waktu tunggu bagi yang haid ditetapkan 3.(TIGA) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari,
c.apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3.tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al-dukhul.
4.bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian suami
5.waktu tunggu bagi istri yang pernah heid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. dalam hal keadaan ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
Pasal 154
Apabila istri tertelak raj’I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang di maksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak.[7]
E. Undang-Undang  Kewajiban Suami Istri Selama ‘Iddah Menurut KHI di Indonesia.
Pasal 149
            Bilamana perkawinan putus karena thalaq, maka bekas suami wajib:
a.       Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istrinya tersebut qobla al-dukhul.
b.       Member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talaq ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c.       Melunasi hutang yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhul.
d.       Membeirikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Pasal 150
            Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam ‘iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam ‘iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.[8]


[1] .Al-hamdani, Risalah Nikah. Halan:299
[2] Ibid. Halm 302
[3] .Taqiyudin Al-iman, Abu Bakar Al-Husaini. Khifayatul Akhyar 2. Halam:578
[4] .Ibid :Halam 573
[5] .Al-Hamdani, Risalah Nikah, Halam: 300
[6] .Rasjid Sulaiman, FiQih Islam. Halam : 416-418
[7] .Al-Hamdani, Risalah Nikah. Halam:376-377
[8] .Ibid,Halam:375-176

1 komentar: